Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 22 Juni 2010

Kilas Balik Dampak Revaluasi Yuan 2005

Revaluasi yuan mungkin berdampak positif dalam jangka pendek bagi perekonomian Indonesia, namun dalam jangka menengah dan panjang dampaknya tergantung sejauh mana upaya perbaikan tingkat daya saing dan manajemen makro ekonomi domestik.

(Jawapos, 26 Juli 2005) Setelah sekian lama mematok nilai yuan pada 8,3 per USD, the People’s Bank of China (Bank Sentral China), pada Kamis (21/7), merevaluasi (meningkatkan) nilai mata uang yuan sebesar 2,1 persen sehingga menjadi 8,11 per USD.

Pada saat yang sama, nilai yuan ditoleransi untuk bergerak 0,3 persen naik atau turun terhadap USD dan 1,5 persen terhadap
sekeranjang mata uang internasional lain. Sebelumnya, kurs mata uang China itu dipasak (pegged) tetap terhadap USD. Itu berarti, terdapat perubahan manajemen kurs dari kurs tetap (fixed exchange rate) ke setengah tetap (semi fixed exchange rate).

Ada dua alasan revaluasi tersebut. Pertama, adanya tekanan politik dari Amerika Serikat (AS). Sebagaimana diketahui, pemerintah AS telah lama menuding China membiarkan mata uangnya dinilai terlalu rendah (undervalued) melalui sistem kurs tetap.

Rendahnya kurs menyebabkan lebih kompetitifnya produk ekspor China daripada produk domestik AS secara tidak adil dan menggelembungnya nilai defisit perdagangan AS, yang hingga saat ini telah mencapai hampir delapan persen dari tingkat produk domestik bruto (PDB).

Alasan kedua, yang lebih utama, revaluasi mata uang yuan dilakukan untuk meredam mesin perekonomian China yang sangat panas. Sepanjang 2005, China telah mencatat surplus neraca perdagangan sebesar USD 39,6 miliar.

Nilai surplus itu, berikut investasi asing yang masuk, menyebabkan meningkatnya cadangan devisa negara tersebut ke angka USD 711 miliar, kedua terbesar di dunia setelah Jepang.

Derasnya modal masuk (capital inflow) melalui surplus di atas menyebabkan perekonomian China tumbuh sangat dramatis sebesar 9,5 persen pada triwulan kedua 2005. Satu angka yang sangat tinggi, bahkan untuk ukuran negara tersebut.

Tidak mengherankan bila harga-harga pun melonjak drastis. Di sektor properti terdapat peningkatan hampir 10 persen harga rumah dan 12 persen harga tanah pada 35 kota besar di China.

Dengan perekonomian yang seakan berlari sprint, otoritas di negara tirai bambu itu mulai gelisah dan berupaya melambatkan lari perekonomian tersebut. Upaya melalui peningkatan suku bunga tidak berjalan efektif, terhambat oleh masih tersentralisasinya struktur keuangan dan pasar obligasi yang belum begitu sempurna di negara itu. Jadi, tidak mengherankan bila revaluasi menjadi satu alternatif untuk menghambat lari kencang perekonomian.

Akibat bagi Indonesia

Yang menjadi pertanyaan, apa akibat revaluasi tersebut bagi perekonomian Indonesia?

Secara umum, pada jangka pendek, revaluasi nilai yuan akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Komoditas ekspor Indonesia akan menjadi lebih murah di China sehingga berpotensi untuk meningkatkan nilai surplus perdagangan bilateral, yang tahun lalu sudah mencapai USD 8,5 miliar.

Begitu juga secara multilateral, produk ekspor Indonesia akan bertambah kompetitif untuk bersaing dengan produk-produk China di pasar internasional.

Para pelaku pasar, tampaknya, mengantisipasi akan adanya peningkatan surplus jangka pendek di atas. Hal itu terlihat dengan menguatnya rupiah pada perdagangan Jumat (22/7) dari Rp 9.810 menjadi Rp 9.795 per USD. Begitu juga, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta meningkat sebesar 14,73 poin atau 1,27 persen.

Perkembangan tersebut tentu menggembirakan. Penguatan nilai rupiah terhadap USD diharapkan akan menahan laju inflasi dalam negeri yang sudah berada di ambang cukup mengkhawatirkan, sebesar 4,28 persen hingga Juni.

Namun, pada jangka menengah dan panjang, tidak ada jaminan bahwa rupiah akan terus menguat terhadap USD. Sebab, perbaikan tingkat daya saing perdagangan yang menyebabkan rupiah menguat, baik secara bilateral maupun multilateral, hanya bersifat sementara.

Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan daya saing akan lebih bergantung pada efisiensi infrastruktur perdagangan, kualitas dan mutu komoditas, kuatnya jaringan (network) ekspor, serta keunggulan teknologi domestik.

Dalam hal ini, China berani mengambil langkah revaluasi karena telah terdapat jaringan perdagangan yang kuat, serta peningkatan dramatis teknologi domestik negeri tersebut, yang oleh Bank Dunia diperkirakan berkontribusi 40 persen dari nilai pertumbuhan ekonomi domestik setiap tahun.

Dengan kedua faktor tersebut, revaluasi, tampaknya, tidak akan berdampak serius terhadap daya saing ekonomi China dalam jangka menengah dan panjang.

Karena itu, optimisme berlebihan akan bertambahnya daya saing perdagangan Indonesia, baik secara bilateral terhadap China maupun multilateral, sebagai fondasi penguatan nilai rupiah terhadap USD, dalam jangka menengah dan panjang adalah bukan pada tempatnya.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah perlu bekerja ekstrakeras untuk meningkatkan efisiensi infrastruktur perdagangan serta pengembangan jaringan perdagangan dan teknologi industri domestik. Jadi, bukan sekadar mengharapkan durian runtuh dari perubahan konstalasi ekonomi makro internasional.

Terlebih, dewasa ini masih terdapat problem akut defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diakibatkan pembengkakan subsidi BBM. Diperkirakan, nilai subsidi BBM dalam APBN 2005 akan terus membengkak di atas Rp 125 triliun, seiring belum turunnya harga minyak internasional dari kisaran USD 60 per barrel.

Potensi pembengkakan defisit APBN tersebut menyebabkan terdorongnya ekspektasi tingkat inflasi ke atas (ricardian equivalent theorem). Pada gilirannya, hal itu juga akan menyebabkan melemahnya rupiah terhadap USD. Problem struktural APBN itu, selama belum dicarikan jalan keluar yang memadai, akan mempersulit upaya stabilisasi nilai rupiah pada jangka menengah dan panjang.

Karena itu, BI, tampaknya, masih akan menerapkan kebijakan ketat peningkatan suku bunga untuk menopang nilai rupiah. Apalagi, saat ini masih terdapat tren peningkatan suku bunga internasional.
sumber:mimjob

Tidak ada komentar :

Posting Komentar